Sabtu, 20 Februari 2010

PERKIRAAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN TERHADAP EKONOMI, KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN AGRIBISNIS DI INDONESIA (Tugas Makalah Keuangan)

PERKIRAAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN
TERHADAP EKONOMI, KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN
AGRIBISNIS DI INDONESIA


ABSTRAK

Bermula dari krisis keuangan Baht–Thailand, kemudian secara perlahan merambat ke
negara-negara Asia Tenggara dan akhirnya menjadi krisis keuangan Indonesia yang dimulai
minggu ketiga bulan Juli 1997. Krisis keuangan yang dialami kali ini menandakan bahwa
ekonomi indonesia semakin terbuka dan terintegrasi dengan ekonomi dunia. Sebenarnya
Indonesia menghadapi tiga jenis krisis yakni: (1) krisis nilai tukar, yang ditandai oleh
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar, (2) krisis utang luar negeri yang besar
jumlahnya, yang dibuat oleh swasta dan pemerintah, dan (3) mungkin juga dihinggapi krisis
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai institusi ekonomi dan finansial.
Untuk mengukur dampak krisis moneter terhadap ekonomi secara kuantitatif belum
dapat dilakukan sekarang. Apa yang dapat dilakukan adalah memperkirakan dampaknya
terhadap ekonomi, khususnya terhadap sektor pertanian dan agribisnis. Untuk kebutuhan
penelitian ini dikumpulkan data makro ekomoni masa lalu yang bersumber dari data
sekender, diolah dan dianalisis. Karena penelitian ini secara khusus memperkirakan dampak
krisis keuangan terhadap sektor pertanian, maka data di bidang pertanian dikumpulkan,
diolah dan dianalisis lebih detil.
Hasil analisis menunjukkan bahwa krisis keuangan di Indonesia yang ditandai oleh
melemahnya nilai rupiah terhadap dollar AS. berdampak terhadap sektor pertanian/agribisnis.
Namun intensitas dampaknya tergantung pada: (1) sumber perolehan bahan baku (dalam atau
luar negeri), (2) struktur pemasaran output (dalam atau luar negeri), dan (3) struktur
permodalan, equity dan portofolio usaha agribisnis tersebut. Ditinjau dari struktur pembiayaan
dan penerimaan, maka porsi impor input dan ekspor output dalam sektor pertanian akan secara
segnifikan berpengaruh terhadap kinerja sektor pertanian.
Bagi perusahaan pertanian dan agribusiness yang menggunakan bahan bakun dari
dalam negeri, gejolak keuangan mungkin tidak berpengaruh demikian besar, dan apabila
sebagian besar output diekspor, maka akan memiliki dampak positif. Namun apabila
perusahaan agribisnis bersangkutan mengunakan baku dari luar negeri (kapas misalnya), maka
implikasi gejolak keuangan akan berpengaruh terhadap struktur biaya (meningkatkan biaya
per unit input dan output) yang lebih besar. Apabila pasarnya dalam negeri, maka akan
semakin suram. Dalam kondisi ini, gejolak keuangan berpengaruh negatif terhadap kinerja
agribisnis bersangkutan.
Akibat krisis keuangan sekarang, sangat perlu diadakan suatu evaluasi kembali untuk
menghitung rate of return investment (ROI) di sektor pertanian. Pada masa lalu ROI di
sektor pertanian hanya berkisar 15 persen. Tidaklah mustahil kalau krisis ini membuat sektor
pertanian rakyat semakin tidak menarik bagi investor.
Kata Kunci: Krisis Keuangan, Dampak Ekonomi, Sektor Pertanian dan Agribisnis.






















PENDAHULUAN

Datangnya Krisis Ekonomi
Di antara dua kemungkinan krisis keuangan: (a) pembayaran utang luar negeri yang
berat (debt crisis) atau (b) krisis nilai tukar rupiah (exchange rate), Steven Redelet (1995)
memilih krisis nilai tukar, sedangkan Ross McLeod (1995) cenderung memilih krisis beratnya
pembayaran utang luar negeri. Menurut Steven Redelet, krisis hutang luar negeri dan
perubahan nilai tukar sebagai masalah yang berkaitan.
Bermula dari krisis keuangan Baht–Thailand, kemudian secara berlahan merambat ke
negara-negara Asia Tenggara dan menjadi krisis keuangan Indonesia yang dimulai minggu
ketiga bulan Juli 1997. Krisis keuangan yang dialami kali ini menandakan bahwa ekonomi
indonesia semakin terbuka dan terintegrasi dengan ekonomi dunia. Lebih luas dari krisis
ekonomi di atas, Indonesia menghadapi tiga jenis krisis yakni: (a) krisis nilai tukar dengan
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, (b) krisis utang luar negeri yang besar
jumlahnya yang dibuat oleh swasta dan pemerintah, dan (c) mungkin juga dihinggapi krisis
menurunnya kepercayaan (deminishing expectation) masyarakat terhadap berbagai institusi
ekonomi dan finansial. Kalau postulasi masalah ini benar, maka persoalan yang dihadapi
Indonesia dapat dikatakan cukup berat dan bersifat jangka panjang. Pemerintah bukan tidak
menyadari masalah ini dan bahkan telah meminta bantuan kepada IMF yang hasilnya paket
bantuan lebih dari US $ 23 Milyar yang terbungkus dengan reformasi ekonomi berjangka
waktu tiga tahun. Pada dasarnya, paket bantuan keuangan dan reformasi ekonomi dari IMF
menggambarkan betapa serius permasalahan ekonomi Indonesia untuk dikembalikan pada
pertumbuhan ekomoni yang tinggi.
Makalah yang pendek ini tidak bertujuan membahas akar permasalahan krisis
keuangan dan ekomoni secara luas, melainkan mencoba membatasi diri hanya menganalisa
dimensi dampak krisis keuangan ini terhadap sektor pertanian/agribisnis. Namun demikian,
pada awal makalah ini ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu tentang terjadinya krisis
keuangan atau moneter tersebut.





METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mengukur dampak krisis moneter terhadap ekonomi secara kuantitatif belum
dapat dilakukan sekarang. Apa yang dapat dilakukan adalah memperkirakan dampaknya
terhadap ekonomi, khususnya sektor pertanian dan agribisnis. Untuk kebutuhan penelitian ini
perlu dikumpulkan data makro ekomoni masa lalu yang bersumber dari data sekender yang
dikumpulkan, diolah dan dianalisis. Karena penelitian ini secara khusus memperkirakan
dampak krisis keuangan terhadap sektor pertanian, maka data di bidang pertanian
dikumpulkan, diolah dan dianalisis lebih detil.
Perlu ditekankan di sini bahwa hasil penelitian ini sifatnya ingin meletakkkan
kerangka dasar dan masih bersifat sementara, sehingga hasil analisis dalam makalah ini tidak
menunjukan suatu derajat presisi yang tinggi tentang dampak krisis keuangan terhadap
sektor pertanian/agribisnis. Namun demikian, perkiraan dampak ini diharapkan dapat berguna
bagi berbagai pihak sebagai alat untuk mengantisipasi kemungkinan perubahan yang terjadi.


KRISIS KEUANGAN INDONESIA

Proses dan Penyebab
Untuk menjaga serangan spekulator terhadap rupiah, pemerintah Indonesia pada bulan
Agustus 1997 telah mengeluarkan beberapa jurus untuk menghentikan transaksi Surat
Berharga Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan pengalihan dana
BUMN dari bank-bank pemerintah dan swasta ke SBI. Kemudian tidak berhenti di situ,
tingkat bunga SBI yang dinaikkan 30 persen untuk satu bulan dan 28 persen untuk 3 bulan
(Econit, 1997). Akibatnya lingkaran bulat likuiditas keuangan bank dan lembaga keuangan
untuk memenuhi kewajibannya membayar utang-utangnya terhadap klien menjadi terputus,
baik dalam pembayaran rupiah maupun dollar, sehingga ekonomi mengalami “stress berat”.
Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan peraturan penundaan proyek karena
ditakutkan uang rupiah digunakan untuk memborong uang dollar. .Namun akibatnya,
dirasakan sangat fatal (over kill).
Dalam suasana yang begitu ”stress berat” tersebut, kemungkinan besar bahwa
pemilik dollar (pengusaha merangkap spekulator, spekulator dan pemegang dollar yang
berjumlah tidak terlalu besar) “memarkir” uang dollarnya di luar negeri, seperti di
Singapore dan Hongkong, sehingga likuiditas dollar juga terputus. .Menurut Anwar Nasution
(1997), walaupun bunga uang ditawarkan tinggi menjelang krisis keuangan, telah terjadi
“capital outflow” dari Indonesia, sehingga justru membuat nilai rupiah semakin merosat.
Proses pemutusan likuiditas keuangan ini mengantarkan ketidak percayaan masyarakat
(swasta) terhadap pemerintah dan sebaliknya (a-symmetry information ?).
Langkanya mata uang dollar di pasar, diduga akibat dari ulah spekulator uang. Namun
sangat mungkin apa yang terjadi adalah Fund Manager mengalihkan dana dollar dari
Indonesia walaupun bunga uang tinggi. Alasannya adalah karena ketidakpastian
(uncertainty).
Dalam menanggulangi merosotnya nilai rupiah ini pemerintah mengembangkan
rupiah dari band intervensi yang berkisar 12 persen. Untuk pengendalian awal pada band
intervensi itu pemerintah telah menghabiskan cadangan devisa hingga diperkirakan hanya
tersisa US $ 12 milyar. Namun demikian tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan nilai tukar
akan membaik dan bahkan kondisi keuangan tetap memburuk, bunga uang tinggi dan
kemungkinan inflasi yang hebat bisa saja terjadi. Dalam kondisi memburuknya ekonomi
inilah pemerintah meminta suntikan uang dollar melalui IMF karena kuatir keadaan ekonomi
semakin memburuk.
Dari uraian proses terjadinya kemerosotan nilai tikar rupiah di atas dapat diketahui
bahwa nilai tukar itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai faktor yang terisolasi, melainkan
berakar pada berbagai faktor yang melatar belakangi atau mendasarinya. Melihat masalah
inilah para ahli ekonomi menunjuk sebagai masalah perekonomian. Misalnya, baik klaim
Bank Dunia atau pemerintah yang mengatakan “fundamental economy” indonesia yang cukup
kuat tidak sepenuhnya benar. Banyaknya bank bermasalah, neraca berjalan defisit, kredit
macet, dan akspor non migas yang melemah telah digunakan secara luas untuk menunjukkan
kelemahan dan ketidak efisienan stuktur ekonomi Indonesia. Melihat tiga paket utama IMF
yang disetujui indonesia yakni: (a) penyehatan sektor keuangan dan moneter -- antara lain
likuidasi perbankan, (b) pembenahan sektor fiskal -- antara lain penghapusan berbagai
subsidi dan, (c) penyesuaian struktural yang menyangkut tarif, mobnas dan industri
strategis. Semua faktor ini tidak bisa tidak menunjukan bahwa memang masalah fundamental
ekonomi masih memiliki kelemahan. Salah satu akar permasalahan adalah pada masa lalu
yakni pinjaman dollar pada pemerintah dan swasta indonesia telah digunakan untuk
membiayai proyek yang tidak terlalu menopang ekspor non-migas dan produktivitas
ekonomi, seperti mobnas dan “industri strategis“. Seharusnya tiap dollar yang dipinjam atau
masuk ke tangan swasta harus digunakan untuk “menggali dollar” lagi. Akan tetapi
permasalahannya, mengapa tiba-tiba dollar langka, sehingga dollar mengalami apresiasi ?

Faktor Eksternal
Faktor penyebab krisis keuangan di indonesia datang dari dua sisi yaitu eksternal dan
internal. Tindakan pemerintah menanggulangi krisis keuangan dengan mengendalikan SBI
dan SPBU dengan mengetatan fiskal menyebabkan terjadinya “stress“ dalam ekonomi.
Proses asimetry information antara swasta dan pemerintah maupun masyarakat dan
pemerintah serta insvetasi asing membuat keadaan semakin memburuk. Keterangan
pemerintah karena kurangnya informasi praktis telah membuat kegiatan ekonomi dalam
posisi “wait and see”, baik pemegang rupiah maupun dollar. Dalam kondisi ini pemegang
uang rupiah praktis mengalami devaluasi yang sampai saat ini sebesar 35-40%
(bandingkanlah dengan devaluasi 1986 senesar 45%). Kalau ditelusuri masa ke kelakang,
praktis rupiah didevaluasi tiap akhir PELITA. Hanya bedanya, sekarang devaluasi berjalan
melalui mekenisme pasar (nilai rupiah dikoreksi oleh mekanisme pasar). Penyebab mengapa
dollar terapresiasi adalah karena faktor eksternal yakni membaiknya ekonomi Amerika
dewasa ini, dengan rate of return yang lebih tinggi telah mengalirkan investasi dollar
kepasar uang Amerika Serikat, sehingga pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat semakin
membaik. Kelangkaan (scarcity) modal di Asia antara lain disebabkan kombinasi dari
alasan mengalirnya sebagian modal ke berbagai tempat di dunia, seperti Amerika Latin,
Rusia dan Eropa Timur. Majalah ”Time“ (Nopember 3, 1997) memperkirakan US $ 1 - 16
billion ke luar ke Amerika Latin dan Eropa Timur melalui pasar uang Amerika (mutual
funds). Di kedua kontinen ini terjadi proses privatisasi besar-besaran, perusahan milik
pemerintah termasuk penyediaan barang publik ke sektor suasta. Akibatnya di Asia
permintaan terhadap dollar dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) dan fortofolio
investment meningkat sedang penawaran (supply) dollar terbatas. Akibatnya nilai rupiah
merosot dan diperketatnya likuiditas rupiah, sehingga perekonomian mengalami pukulan
berat. Dalam kaitan ini, perusahaan suasta yang memiliki utang jatuh tempo mendorong
pembelian dollar dan mungkin juga dikombinasi dengan kegiatan spekulasi uang. Salah satu
kelemahan pinjaman uang suasta adalah digunkannya pinjaman komersial berbunga tinggi
pada proyek yang hasilnya berjangka panjang. Akibatnya pihak swasta mengalami kesulitan
membeli dollar karena: (a) rupiah diperketat likuiditasnya, dan (b) kelangkaan dolar dipasar
uang. Semenjak rupiah mulai mengalami apresiasi 2-3 tahun lalu, juga seperti dialami oleh
Baht-Thailand dan Ringgit-Malaysia dengan mudah dimanfaatkan oleh spekulator uang dari
dalam dan manca negara.

Faktor Internal
Penyebab dari faktor krisis keuangan dewasa ini dapat disebabkan: (a) dolar tidak
menggali dollar, yang didapat dari luar tidak digunakan untuk memperkuat ekspor dan lebih
bersifat konsumtif, (b) kondisi perbankan yang tidak sehat (terlalu banyak bank bermasalah
dan tidak efisien), (c) sistem monitoring dan pengawasan (surveillance system) dibidang
keuangan dan moneter sangat lemah dan tidak bekerja dengan baik, (d) faktor struktur
ekonomi di berbagai bidang, sektor dan komoditi yang masih terdistorsi karena ketidaksempurnaan
bekerjanya pasar, antara lain karena monopoli dan monopsoni dan sejenisnya,
dan (e) balance of payment yang defisit (seperti ditunjukkan oleh Miranda dalam Lampiran
1).
Faktor-faktor internal di atas sesungguhnya jauh lebih baik apabila diletakkan atau
membawanya ke dalam kerangka pemikiran pencapaian pertumbuhan ekonomi dan implikasi
ekonomi makronya. Krugam (1995) dalam bukunya menjelaskan dengan tegas bahwa
pertumbuhan ekonomi Asia bukanlah keajaiban (miracle) seperti dalam laporan Bank Dunia.
Saya teringat dua tahun lalu ketika Bank Dunia mengundang saya ke suatu pertemuan di
Mauritius menjelaskan pada ekonom peserta dari negara Afrika bahwa tidak ada “economic
miracle“ di Asia. Kemudian tahun 1996 ketika ekonomi Thailand masih tinggi
pertumbuhannya, pendapat Krugman ini saya ajukan lagi pada ekonom ASEAN. Mengapa
ini saya kemukakan karena basis stuktur dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia
Tenggara masih rapuh (lemah). Dalam kesempatan ini, saya ingin dan rasakan perlu
ditampilkan lagi pendapat Krugman tersebut. Berhasilnya negara Asia Tenggara dan Timur
dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebelum krisis melanda karena dua faktor
yaitu: (a) adanya mobilisasi sumberdaya alam dan tenaga kerja yang murah, baik via migrasi
maupun dieksploitasinya kekayaan hutan dan tambang, dan (b) membanjirnya Foreign
Direct Investment (FDI) ke Asia, menunjukan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi Asia itu
kurang langgeng (unsustainble) karena faktor “efficieency gain” yang mana pertumbuhan
diperkirakan sangat kecil. Kita mengetahui salah satu “efficieency gain” yang paling dominan
adalah perubahan teknologi. Kalau dilihat kinerja ekonomi sampai saaat ini dapat dikatakan
sejalan dengan pendaopat Krugman di atas. Masalah fundamental yang lebih luas adalah
membuat efficiency gain dalam pertumbuhan kita harus membawa ekonomi Indonesia pada
kondisi di mana perlu diberikan mekanisme pasar terkelola agar bekerja lebih sempurna
dengan intervensi pemerintah dalam distribusi kesempatan berusaha dan bekerja yang

dirasakan perlu. Dengan kerangka pemikiran seperti ini sistem ekonomi kapitalis berwajah
manusiawi dapat terwujud serta dapat menopang pembangunan ekonomi.
Dari uraian dan pendapat Krugman di atas, maka dapat dikatakan bahwa fundamental
ekonomi Indonesia menghadapi gejolak, masih lemah dan struktur pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih sangat rapuh. Sebagai bahan perbandingan, Lampiran 1 menyajikan
beberapa indikator ekonomi makro Indonesia dan negara ASEAN lainnya.


DAMPAK KRISIS KEUANGAN TERHADAP EKONOMI,
KHUSUSNYA SEKTOR PERTANIAN DAN AGRIBISNIS

Perkiraan Dampak Krisis Keuangan Terhadap Ekonomi
Dari uraian krisis keuangan dan penanggulangan secara praktis mengandung dua
gejolak: (a) Penurunan Nilai Tukar (PNT) dan (b) Pengetatan Likuiditas Rupiah (PLR).
Kedua faktor penurunan nilai tukar dan pengetatan likuiditas lambat atau cepat akan
berpengaruh terhadap seluruh elemen dan pelaku ekonomi. Kedua efek ini sangat sukar
dipisahkan yang dapat digambarkan dalam skema sebab dan akibat berikut.
Secara teoritis dari diagramatis, dapat ditafsirkan bahwa danpak utama penurunan
nilai tukar adalah secara efektif akan menurunkan daya beli (permintaan) konsumen terutama
masyarakat berpendapatan menengah dan rendah (miskin). Dampak penurunan permintaan
ini akan mendorong menurunnya produksi barang dan jasa . Dari sudut produsen, krisis
penurunan nilai tukar dan naiknnya bunga uang dan kandungan input impor cukup besar akan
mendorong biaya produksi, sehingga harga barang naik. Besar kemungkinan tekanan inflasi
terutama cost push inflation adalah bahaya yang datang menyelinap ke dalam ekonomi
Indonesia. Apabila daya beli menurun serta harga barang dan jasa meningkat, maka
kemungkinan besar perusahaan akan memotong jumlah produksi (output) yang dapat
berdampak terhadap PHK tenaga kerja. Kalau ini terjadi maka urban and rural unemployed
labor akan semakin meningkat. Ujungnya adalah keresahan sosial.
Kalau perusahaan mengurangi output, maka jumlah pajak yang dikumpulkan pasti
berkurang sehingga total penerimaan (anggaran belanja) yang bersumber dari pajak akan
berkurang. Di sisi penawaran (supply) faktor pemotong anggaran belanja ini akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ujungnya target pertumbuhan ekonomi yang
tinggi (7-8% per tahun) akan sangat sukar dipertahankan. Krisis ini telah menjungkir balikkan
prediksi yang optimis (rosses) dari pengamat pada awal dan pertengahan tahun 1997 ini.
Faktor ini membuktikan bahwa sesungguhnya pertumbuhan ekonomi indonesia senantiasa

Bahaya lain yang datang setelah depresiasi rupiah (devaluasi) melalui mekanisme
pasar adalah bahaya inflasi. Bahaya inflasi, secara teoritis datang dari proses berikut.
Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku dan barang modal yang cukup besar. Karena
harga dollar yang relatif lebih mahal dibading dengan rupiah, maka merosotnya nilai rupiah di
satu pihak mendorong ekspor, akan tetapi melalui time-lag tertentu (2-3 tahun) akan bersifat
inflatoar kerena sifat cost-push inlfation tersebut. Kalau Indonesia tidak mampu mengurangi
impor serta meningkatkan pruduktifitas ekonomi dan ekspor maka bahaya inflasi akan segera
dihadapi karena sifat cost-push inflation tersebut. Kalau Indonesia tidak mampu mengurangi
impor serta meningkatkan produktifitas ekonomi dan ekspor, maka bahaya inflasi akan segera
dihadapi Indonesia.
Faktor musim kemarau panjang dan kebakaran hutan serta faktor alam lain akan dapaty memperburuk
keadaan ekonomi terutama meningkatnya harga barang konsumsi yang berakhir pada peningkatan inflasi.

Dampak Krisis Keuangan Terhadap Sektor Pertanian dan Agribisnis
Untuk memahami dampak krisis sektor keuangan terhadap sektor pertanian dapat
dianalisis ditingkst mikro dalam arti firm (perusahaan) dan sektoral dalam arti agregasi sektor
ke dalam ISIC 1 menurut BPS, secara ringkas variabel yang tepengaruh oleh krisis keuangan
dapat dilihat pada Tabel 1. Gejolak mata uang (exchange rate) yang berubah pasti akan
merubah struktur biaya (cost) dan harga input-output. Melemahnya nilai rupiah terhadap dollar
ini dipastikan berdampak terhadap sektor pertanian dan agribisnis. Ada dua atau lebih panel
contoh yang dapat dimunculkan:
1. Bagi perusahaan pertanian yang kinerjanya di mana sumber bahan baku dari dalam negeri,
gejolak keuangan ini mungkin tidak demikian besar, dan apabila sebagian besar output
diekspor, maka gejolak keuangan akan bersifat positif.
2. Apabila agribisnis bersangkutan berbahan baku dari luar negeri (seperti kapas misalnya),
maka implikasi gejolak keuangan akan berpengaruh terhadap struktur biaya (meningkatkan
biaya per unit input dan output) yang lebih besar. Apabila pasarnya dalam negeri, maka
akan semakin suram. Dalam kondisi ini, gejolak keuangan sekarang secara negatif
berpengaruh terhadap kinerja agribisnis bersangkutan.
.

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB
DAN PREDIKSI AKIBAT KRISIS MONETER

PDRB sektor pertanian dalam tahun 1995 berdasarkan harga berlaku dan konstan
1993 menunjukan bahwa sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup besar
terhadap PDRB masing-masing propinsi di Indonesia. Untuk propinsipropinsi
yang berada di wilayah Pulau Sumatra, persentase sektor pertanian berdasarkan
harga berlaku mencapai lebih dari pada 20 persen dari total PDRB masing-masing propinsi,
bahkan untuk propinsi Lampung hampir mencapai 40 persen. Sedangkan yang sumbangan
sektor pertaniannya rendah hanya dialami oleh Propinsi Riau, yakni hanya sekitar 7 persen
dari total PDRB. Dari lima sub sektor pertanian, sumbangan terbersar rata-rata berasal dari
sub-sektor tanaman pangan, kecuali Sumatra Utara dan Sumatra Selatan dari sub-sektor
perkebunan. Demikian juga halnya jika dilihat berdasarkan harga konstan, sumbangan sektor
pertanian masing-masing propinsi masih menunjukkan kontribusi yang cukup besar kecuali
Propinsi Riau.
Untuk propinsi yang berada di wilayah Pulau Jawa, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDRB mencapai diatas 15 persen, kecuali DKI Jakarta. Sumbangan tersebut
sebagian besar berasal dari sub-sektor tanaman pangan. Sementara untuk propinsi di wilayah
Pulau Kalimantan, sumbangan sektor pertanian diatas 20 persen, kecuali Kalimantan Timur
sumbangan tersebut didomasi oleh sub-sektor kehutanan, kecuali Kalimantan Selatan yang
sebagian besar dihasilkan dari sub-sektor tanaman pangan.
Propinsi di Wilayah Pulau Sulawesi mempunyai sumbangan dari sektor pertanian
yang terbesar dibanding dengan wilayah lain yakni rata-rata mencapai lebih dari 30 persen.
Kontribusi tersebut sebagian besar berasal dari sub-sektor tanaman pangan. Sedangkan untuk
propinsi di wilayah lainnya, kontribusi sektor pertanian mencapai lebih dari 20 persen,

kecuali Irian Jaya. Sedangkan kontribusi terbesar berasal dari sub-sektor tanaman pangan,
kecuali Maluku yang berasal dari sub-sektor perikanan.
Kemudian jika dilihat sumbangan sektor pertanian masing-masing propinsi terhadap
PDB sektor pertanian Indonesia, maka dapat diketahui bahwa penyumbang terbesar adalah
propinsi yang berada di wilayah Pulau Jawa yakni Propinsi Jawa Barat (15%), Jawa Tengah
(13%) dan Jawa Timur (15%) dengan kontribusi terbesar berasal dari sub-sektor tanaman
pangan (Lampiran 4 & 5 ). Sementara jika dilihat sumbangan terbesar untuk masing-masing
sub-sektor berdasarkan harga konstan 1993, Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar
untuk sub sektor tanaman Pangan yakni sebesar 21 persen. Kemudian untuk sub-sektor
perkebunan yang memberi sumbangan terbesar adalah Sumatra Utara yaitu sebesar 23 persen,
untuk peternakan propinsi Jawa Tengah (18%), kehutanan adalah Propinsi Kalimantan Timur
(17%) dan untuk perikanan adalah JawaTimur yakni mencapai 11 persen.
Jika melihat penyerapan dan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, dari 27
propinsi yang ada di Indonesia, antara tahun 1986 dengan 1995 hanya propinsi irian jaya
yang penyerapan tenaga kerjan di sektor pertaniannya mengalami kenaikan, sedangkan
propinsi lainnya mengalami penurunan. Dengan demikian secara total terlihat bahwa
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia mengalami penurunan antara tahun
1986 dengan 1995 yakin sebesar 10,1 persen dengan tingkat produktivitas tenaga kerja di
sektor pertanian pada tahun 1995 sebear 1,63.
Dengan berdasarkan indikator perubahan seperti pada Tabel 1, dapat dikemukakan
prediksi akibat krisis moneter terhadap sektor pertanian. Dengan anggapan bahwa indikator
perubahan pada Tabel 1 adalah benar, maka dapat diketahui sub-sektor pertanian yang
menjadi andalan atau penyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB dari sektor pertanian
mengalami penurunan, kenaikan atau tetap/tidak terpengruh akibat krisis moneter di masingmasing
propinsi yang ada di indonesia.
Sebagai contoh, di wilayah Sumatera sub-sektor perkebunan cenderung mendominasi
terhadap kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, utamanya Propinsi Sumatra Utara dan
Sumatera Selatan. Berdasarkan indikator perubahan di atas, maka akibat krisis moneter akan
sangat berpengaruh positif terhadap perekonomian propinsi tersebut, utamanya terhadap
output untuk perkebunan besar
Untuk propinsi di wilayah Pulau Jawa, PDRB dari sektor pertanian didominasi oleh
sub-sektor tanaman pangan dan perternakan. Berdasarkan indikator perubahan, secara umum
krisis moneter akan berpengaruh negatif (turun) terhadap sub-sektor tersebut, kecuali harga

output yang tidak tidak terpengaruh atau netral untuk tanaman pangan dan berpengaruh
positif (naik) terhadap peternakan. Sedangkan untuk Propinsi di Pulau Kalimantan cenderung
didominasi oleh subsektor ehutanan, utamanya Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalaimantan
Timur. Sub-sektor kuhutanan ini sangat terpengaruh oleh terjadinya krisis moneter, utamanya
dalam hal pendapatan/keuntungan, output dan tenagakerja yang berpengaruh positif (naik ).
Krisis keuangan yang terjadi sekarang memaksa pemilik modal dan manajer agribisnis
membuat reevaluasi tentang nilai aset yang dimiliki. Kalau asset terhitung dalam rupiah,
maka gejolak keuangan dan devaluasi sekarang akan berpengaruh terhadap keseluruhan
kinerja sektor pertanian. Kalau asset perusahaan dalam dollar, maka gejolak mata uang
menguatnya dollar semakin menguatkan posisi sektor pertanian .Akan tetapi kasus sektor
pertanian Indonesia lebih cenderung pada rupiah yang semakin menurun nilainya.
Kalau dilihat dari hasil analisis dalam Tabel 1. kemungkinan pengaruh krisis
keuangan sekarang ini berdampak negatif terhadap pertanian rakyat. Mengingat sektor
pertanian rakyat. mempekerjakan banyak tenagakerja, maka perlu perhatian terhadap
kemungkinan bertambahnya pengangguran.
Lebih jauh lagi adalah sub sektor pertanian yang menggunakan barang modal yang
diimpor akan segera meningkatkan biaya per unit output yang secara efektif dapat
merngurangi kemampuan kompetisi barang kita di pasar internasional. Biasanya suatu
ekonomi sehabis devaluasi, di mana harga dollar lebih tinggi dengan time lag tertentu akan
diikuti oleh inflasi. Tergantung dari jenis inflasi apa yang akan datang (demand or cost push
inflation) akan berpengaruh negatif atau positif terhadap sektor pertanian. Biasanya demand
pull inflation dapat berperanan positif terhadap sektor pertanian.






















KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Krisis keuangan di Indonesia yang ditandai oleh melemahnya nilai rupiah terhadap
dollar AS. berdampak terhadap sektor pertanian/agribisnis. Namun intensitas dampaknya
tergantung pada: (1) sumber perolehan bahan baku (dalam atau luar negeri), (2) struktur
pemasaran output (dalam atau luar negeri), dan (3) struktur permodalan, equity dan portofolio
usaha agribisnis tersebut. Ditinjau dari struktur pembiayaan dan penerimaan maka porsi impor
input dan ekspor output dalam sektor pertanian akan secara segnifikan berpengaruh terhadap
kinerja sektor pertanian.

Bagi perusahaan pertanian atau agribisnis yang menggunakan bahan bakunya dari
dalam negeri, gejolak keuangan mungkin tidak berpengaruh demikian besar, dan apabila
sebagian besar output diekspor, maka akan memiliki dampak positif. Namun apabila
perusahaan agribisnis bersangkutan menggunakan bahan baku dari luar negeri (seperti kapas
misalnya), maka implikasi gejolak keuangan akan berpengaruh terhadap struktur biaya
(meningkatkan biaya per unit input dan output) yang lebih besar. Apabila pasarnya dalam
negeri, maka akan semakin suram. Dalam kondisi ini, gejolak keuangan berpengaruh negatif
terhadap kinerja agribisnis bersangkutan.
Saran
Kemungkinan pengaruh krisis keuangan sekarang ini berdampak negatif terhadap
pertanian rakyat. Mengingat sektor pertanian rakyat mempekerjakan banyak tenagakerja,
maka perlu perhatian terhadap kemungkinan bertambahnya pengangguran.
Akibat krisis keuangan sekarang, sangat perlu diadakan suatu evaluasi kembali untuk
menghitung rate of return investment (ROI) di sektor pertanian. Pada masa lalu ROI di
sektor pertanian hanya berkisar 15 persen. Tidaklah mustahil kalau krisis ini membuat sektor
pertanian rakyat semakin tidak menarik bagi investor.





DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri. 1997. “The Asean Financial Market An Overview”. 22nd Federation of Asean
Economic Association (FAEA) Conference Bali-Indonesia 24-25 October 1997.
Econit’s. 1997. “Alternatif Kebijakan Menghadapi Krisis Nilai Tukar dan Likuiditas: Pride-
Driven Policy vs. Rational-Driven Policy”. Public Policy Review 30 Agustus
1997.
Husnan Suad. 1997. “Pelajaran dari Krisis Sektor Keuangan Indonesia”. Makalah pada
Seminar Nasional ISEI Yogyakarta, dengan tema: Prospek Ekonomi Indonesia,
Tantangan dan Peluang Sektor Keuangan, 11 Oktober 1997.
Krugman, P. 1994. “Economic Sense and Non-Sense in the Age of Diminished Expectations
PEDDLING PROSPERITY”. W.W. Norton & Company, Inc.
Krugman, P. 1995. “The Age of Diminished Expectations (US. Economic Policy in the
1990s)”. The Washington Post Company (1990) as the first book in their series
briefing books.
McLeod Ross H. 1994., “Indonesia’s Foreign Debt”. In Ross H. McLeod (ed), Indonesia
Assessment: Finance as a key sector in Indonesia’s Development, Research
School of Pacific and Asian Studies, Canberra and Institute of South East Asian
Studies Singapore. Comment by Redelet Seteven (1995), “Indonesia Foreign
Debt: Headed for Crisis of Finance Sustainable Growth”. BIES, 31 (3). See
Comment by Ross H. McLeod (1996) and Final Reply by Steven Redelet in
BIES, 32 (2), 1996.

Mulyani, Sri Indrawati. 1997. “Gejolak Mata Uang dan Implikasi Kebijaksanaan:. ISEI Jaya,
LPEM-FEUI.
Nopirin. ?. “Prospek Sektor Perbankan Indonesia: Beberapa Agenda Penting”. Makalah pada
Seminar Tantangan Perbankan pada Abad 21.
Nasution, Anwar. 1997. “The Recent Financial Crisis in Indonesia”. A Paper Presented at
Conference on “Money and Financial Markets in Asia: A Challenge to Asian
Industrialization”. San Francisco, 15-16 September 1997.
Ortiz Guillermo. 1995. “How We’re Handling the Peso Crisis”. Pusat Data Business
Indonesia, 6-7 Januari 1995.
Usman, Marzuki. 1997. “Kelembagaan Sektor Keuangan dalam Menghadapi Abad ke-21”.
Makalah pada Seminar yang bertema”Prospek Ekonomi Indonesia: Tantangan
dan Peluang Sektor Keuangan”. Yogyakarta 11 Oktober 1997.

Sumber : MANGARA TAMBUNAN,
http://ejournal. unud. ac. id/abstrak/(3) soca-mangara-perkiraan dampak krisis keuangan(1). pdf